Konformitas dalam Pendidikan
A. Pengertian Konformitas
Pemakalah tentu pernah melihat iklan layanan masyakarat seperti iklan Keluarga Berencana dengan slogan “Dua Anak Lebih Baik” atau iklan tentang budayakan mengantri dengan slogan “Bebek saja bisa antri, masa kalah sama bebek”, itu adalah salah satu contoh kecil tentang cara pembentukan konformitas. Konformitas adalah perubahan karena adanya dorongan untuk mengikuti nilai – nilai yang sudah ada. Seperti yang di kemukakan oleh Cialdini dan Goldstein yaitu Conformity (konformitas) adalahtendensiuntukmengubahkeyakinanatauperilakuseseorang agarsesuaidenganperilaku orang lain[1]
Maka jelaslah bahwa tingkaah laku setiap individu, berpengaruh pula pada individu yang lain. Contoh - contoh yang telah di sebutkan pada paragraf pertama adalah cara untuk membentuk konformitas yang baik. Dalam kegiatan belajar mengajar, pemakalah dapat menggunakan konformitas untuk membentuk pribadi peserta didik yang.
B. Tipe Konformitas
Menurut para ahli psikologi social pada dasarnya ada tiga tingkat konformitas ,yaitu
1. Konformitas Membabi Buta
Konformitas yang pertama ,tipe A , bersifat vulgar, tradisional, dan primitive. Konformitas pada tipe ini bersikap masa bodoh atau tidak peduli terhadap apa yang diikutinya atau tidak memikirkan dampak dari sesuatu yang diikutinya itu. Konformitas tingkat pertama ini biasanya disertai dengan rasa takut akan sanksi yang diberikan terhadap mereka yang tidak berkonformitas. Pada sisi lain, mereka yang berkonformitas primitif banyak diantaranya mengharapkan imbalan atas kepatuhan itu . Rasa takut dan harapan akan imbalan merupakan dua sisi yang sepertinya berjauhan , tetapi sebenarnya saling bersangkutan dalam konformitas tradisional.
2. Konformitas Indentifikasi
Konformitas Tipe B lebih maju dibandingkan dengan tipeA .Konformitas tipe ini tidak dihantui lagi oleh rasa takut, karena ancaman sanksi seperti tipeA . Konformitas identifikasi tidak didasarkan atas adanya kekuasaan .Kekuasan itu pun diganti dengan Karisma deri seorang pemimpin. Karisma didasari oleh sikap saling mempercayai ,mengakui, menerima secara sukarela, dan tanpa adanya imbalan atas posisi konformitas. Kebebasan udah mulai tumbuh pada tipei ni ,namun kebebasani tubelums epenuhnya. Disana masiah ada keterikatan ,yaitu karisma sang pemimpin
3. Konformitas Internalisasi
Sebelum seseorang mengambil posisi konformitas atau non konformitas , sebenarnya ia memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan segala aspek yang dapat mengarahkan keposisi konformitas atau non konformitas. Ia dapat menggunakan pengetahuan, wawasan, dan pengalamannya dalam mengkaji aspek-aspek tersebut. Di dalam tipe C ini , konformitas membabibuta sudah tidak ada sama sekali. Konformitas tipe C ini lebih menggunakan pikiran, perasaan ,pengalaman, hatinurani, untuk menentukan pilihan – pilihan dalam bersikap dan bertingkah laku juga dalam berpikir dan berpendapat. Konformitas internalisasi dianggap sebagai tingkat yang paling tinggi dalam hubungan yang bersifat pengaruh – mempengaruhi karena didalamnya terdiri aspek-aspek kedirianmanusia yang paling dalam . kebebasan dengan menggunakan kekuasaan manusiawi dalam tipe ini menjadi orientasi dalam pembentukan konformitas tipe C ini.
B. Karisma dalam Pendidikan
Allah SWT menciptakan manusia di dunia sebagai khalifah. Begitu pula dalam kegiatan belajar mengajar. Seorang pendidik harus memiliki kemampuan untuk dapat memimpin, mendidik, memiliki akhlak yang bagus, wawasan yang luas serta kekuatan dalam dirinya. Jika pendidik memiliki pengalaman yang banyak, maka akan lebih cepat memahami peserta didik. Kenyataannya banyak pendidik yang tidak memiliki kemampuan tersebut. Pemakalah dapat melihat di sekolah – sekolah dasar, banyak guru yang terlalu kuat dalam kegiatan belajar mengajar bahkan menjadi pendoktrin. Hingga suatu hari penulis mendapatkan keluhan anak sekolah dasar yang takut datang ke sekolah karena sering dibilang bodoh oleh gurunya jika tidak bisa mengerjakan tugas. Mungkin ini terjadi karena masih banyak guru sekolah dasar negeri yang bukan sarjana dari pendidikan Sekolah Dasar. Sehingga mereka tidak dapat memberikan kharisma yang maksimal. Di sekolah menengah pertama, pendidik lebih memiliki banyak pengalaman dan lebih miliki kemampuan mengajar yang baik. Baik di dalam kelas maupun luar kelas. Terlihat dari banyaknya aktifitas yang dilakukan dalam Ekstrakulikuler. Sebagian besar pendidik terjun langsung di kegiatan – kegiatan tersebut. Lain halnya dengan pendidik Sekolah Menengah Atas. Pendidik di jenjang ini lebih cuek dengan kegiatan peserta didik. Kebanyakan siswa yang dituntut untuk aktif. Penulis dapat lihat dari kegiatan seperti PENSI (Pentas Seni), peserta didik lebih aktif di dalamnya seperti meminta sponsor, mencari peserta pensi, promosi, dan lain sebagainya. Sekolah hanya memberi pelayanan tempat, dan pengurusan surat – surat perijinan. Memang dalam kurikulum 2013, siswa diharapkan pro aktif, tetapi hendaklah pendidik mengawasi dan membantu dalam kegiatan – kegiatan tersebut.
Namun dalam pengerjaannya, pendidik harus mmiliki kode etik. Seperti yang di sampaikan penulis dalam blok gontor, yaitu :
Dasar-dasarkodeetik guru Indonesia antara lain:
1. guru berbaktidanmembimbinganakdidikseutuhnyauntukmembentukmanusiapembangunan yang ber-pancasila.
2. gurumengadakankomunikasiterutamadalammemperolehinformasitentangpesertadidik, tetapimenghindarkandiridarisegalabentukpenyalahgunaan.
3. gurumemeliharahubunganbaikdenganmasyarakat di sekitarsekolahnyamaupunmasyarakat yang lebihluasuntukkepentinganpendidikan,[2]
Dapat penulis simpulkan bahwa kedekatan yang terlalu, dapat menimbulkan efek yang tidak baik. Jadi, sebaiknya pendidik dapat dekat dengan peserta didik namun tetap dalam batas yang wajar.
C. Kemampuan Internalisasi Peserta Didik
Dalam Kegiatan Belajar mengajar, kharisma, kemampuan pendidik dalam memahami pesertadidik, kemampuan pendidik dalam kujujuran profesionalitas, serta pengalaman pendidik sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter pesertadidik. Penghambat peserta didik membentuk kemampuan Internalisasi yaitu adanya rasa ingin sama dengan yang lainnya. DiperkuatolehO. Sears, JonathanL.Freedman, L.Anne Peplau , 1985 yang menyebutkan konformitas dipengaruhi hal – hal berikut :
1. Kurangnya Informasi. Orang lain merupakan sumber informasi yang penting.Seringkali mereka mengetahui sesuatu yang tidak kita ketahui; dengan melakukanapa yang mereka lakukan, kita akan memeperoleh manfaat dari pengetahuanmereka.
2. Kepercayaan terhadap kelompok. Dalam situasi konformitas, individu mempunyaisuatu pandangan dan kemudian menyadari bahwa kelompoknya menganut pandangan yang bertentangan. Individu ingin memberikan informasi yang tepat.Oleh karena itu, semakin besar kepercayaan individu terhadap kelompok sebagaisumber informasi yang benar, semakin besar pula kemungkinan untuk menyesuaikan diri terhadap kelompok
3. Kepercayaan diri yang lemah. Salah satu faktor yang sangat mempengaruhi rasa percaya diri dan tingkat konformitas dalah tingkat keyakinan orang tersebut padakemampuannya sendiri untuk menampilkan suatu reaksi. Semakin lemahkepercayaan seseorang akan penilaiannya sendiri, semakin tinggi tingkatkonformitasnya. Sebaliknya, jika dia merasa yakin akan kemampuannya sendiriakan penilaian terhadap sesuatu hal, semakin turun tingkat konformitasnya
4. Rasa takut terhadap celaan sosial. Celaan sosial memberikan efek yang signifikan terhadap sikap individu karena pada dasarnya setiap manusia cenderungmengusahakan pesetujuan dan menghindari celaan kelompok dalam setiaptindakannya. Tetapi, sejumlah faktor akan menentukan bagaimana pengaruh persetujuan dan celaan ibi terhadap tingkat konformitas individu.
5. Kekompakan kelompok. Konformitas juga dipengaruhi oleh eratnya hubungan antaraindividu dengan kelompoknya. Kekompakan yang tinggi menimbulkankonformitas yang semakin tinggi.
6. Kesepakatan kelompok. Orang yang dihadapkan pada keputusan kelompok yangsudah bulat akan mendapat tekanan yang kuat untuk menyesuaikan pendapatnya. Namun, bila kelompok tidak bersatu akan tampak adanya penurunan tingkatkonformitas.
7. Ukuran kelompok. Konformitas akan meningkat bila ukuran mayoritas yangsependapat juga meningkat, setidak-tidaknya sampai tingkat tertentu. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wilder (1977) disimpulkan bahwa pengaruh ukuran kelompok terhadap tingkat konformitas tidak terlalu besar,melainkan jumlah pendapat lepas (independent opinion) dari kelompok yang berbeda atau dari individu merupakan pengaruh utama
8. Keterikatan pada penilaian bebas. Orang yang secara terbuka dan bersungguh-sungguh terikat suatu penilaian bebas akan lebih enggan menyesuaikan diriterhadap penilaian kelompok yang berlainan. Atau dengan kata lain keterikatansebagai kekuatan total yang membuat seseorang mengalami kesulitan untuk melepaskan suatu pendapat.
9. Keterikatan terhadap Non-Konformitas. Orang yang, karena satu dan lain hal, tidak menyesuaikan diri pada percobaan-percobaan awal cenderung terikat pada perilaku konformitas ini. Orang yang sejak awal menyesuaikan diri akan tetapterikat pada perilaku itu[3]
Teori yang dikemukakan diatas, berlaku dalam kehidupan bersosial di luar sekolah maupun di sekolah. Seperti di Sekolah adanya tekanan dari senior atau senioritas, adanya gang atau pengelompokan, adanya perbedaan ekonomi, sampai pembedaan kelompok dapat menjadi tekanan bagi peserta didik yang tidak dalam komunitas itu. Sehingga terjadi konformitas diantara peserta didik diluar komunitas untuk mengikuti norma atau kebiasaan kumunitas tersebut agar tidak dikucilkan.
Contoh hal – hal yang terjadi karena konformitas antar pelajar yaitu :
1. Tawuran yang terjadi antar sekolah hingga turun temurun
2. Penyiraman air keras kepada temannya karena balas dendam
3. Kumpul atau yang biasa disebut nongkrong di tempat tempat tertentu hingga malas masuk sekolah dan mengerjakan tugas
4. Merokok karena tidak ingin dibilang banci oleh teman–temannya
5. Pemakaian obat – obatan terlarang, gaya hidup yang mengedepankan kesenangan dunia hingga seks bebas kini menjadi hal yang lumrah dilakukan kalangan pelajar yang ekonomi orang tuanya menengah keatas.
Disinilah dibutuhkan peranan pendidik untuk membentuk kemampuani nternalisasi pesertadidik. Kemampuan untuk dapat memilah mana yang baik, mana yang tidak baik, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan.Kemampuan pendidik yang disebutkan di paragraph pertama, diharapkandapatmenjadi modal untuk membentuk kemampuan peserta didik.
[1]http://matasiswa.blogspot.com/2012/06/konformitas.html
[2]http://gontor2007.blogspot.com/2010/09/kharisma-gereg-dan-tanggung-jawab.html
[3]http://bungfos.blogspot.com/2013/03/keterkaitan-penyimpangankonformitaspeng.html
0 komentar:
Posting Komentar